Rabu, 18 September 2013

Mitos "Palasik Kuduang"

Mitos "Palasik Kuduang"



Mereka bertiga berbondong-bondong pergi ke tepian sungai yang berair tenang di belakang rumah pak Buruak yang seorang petani sayur di Nagari Koto Tinggi untuk melihat keanehan yang terjadi belakangan ini di Nagari mereka, sebut saja nama mereka Sutan, Rohana, serta Batar. mereka bertiga adalah kawanan yang selalu hilir mudik tiap harinya di sungai belakang rumah Pak Buruak setelah sepulang sekolah setelah mereka mendengar cerita mengenai apa yang terjadi di sekitar rumah pak Buruak pada belakangan ini. Sutan merupakan lelaki berparas melayu dan kulit berwarna kuning langsat yang bersekolah di salah satu sekolah negeri di nagarinya, ia termasuk anak yang sedang-sedang saja dalam bidang akademik dan juga anak yang penakut tapi disenangi teman-temannya karena sikapnya yang dermawan. Batar merupakan remaja yang berparas unik dengan rambut yang ikal dan berkulit agak kehitaman merupakan siswa yang paling pandai di kelas dan memiliki misi mulia dalam kehidupannya yaitu ingin membawa keluarganya dari kemelaratan ekonomi yang sedang mereka hadapi sekarang, sesuai dengan arti dari namanya sendiri M. Batar (Mambangkik Batang Tarandam) dengan di dorong oleh keinginan serta arti dari namanya tersebut, Batar menjadi anak yang pandai karena kegigihannya dalam belajar untuk mensukseskanmisinya tersebut. Lalu yang terakhir teman yang paling cantik dari mereka bertiga yaitu Rohana, perempuan berkulit kuning langsat ini memiliki mata yang indah serta rambut panjang yang terurai di punggungnya merupakan anak dari wali nagari tempat mereka tinggal.
Siang itu setelah pulang sekolah mereka bertiga berkumpul di rumah Rohana untuk pergi ke tepian sungai di belakang rumah Pak Buruak sebagaimana yang dilakukan mereka pada hari-hari sebelumnya. Namun dalam perjalan ke rumah Rohana, Sutan dan Batar bercakap mengenai cerita yang belakangan ini mereka dengar dari ayah Batar.
“Tar.. apa benar cerita yang disampaikan bapakmu itu?”
“aku juga tidak tahu Tan”
“kalau memang benar yang disampaikan oleh bapakmu itu, kita harus hati-hati Tar?”
“Lho.. memang kalau memang iya.. kenapa kita mesti hati-hati Tan?”
“iya jelas dong,, soalnya mana tahu selanjutnya yang menjadi korbannya orang-orang yang berada di sekitar kita ataupun bisa jadi mungkin kita Tar?”
“ah kamu jangan berpikiran seperti itu Tan”
Sutan termasuk manusia yang cerewet karena tidak henti-hentinya membicarakan cerita baru yang didapatkannya dari ayah Batar itu. Dari kejauhan Rohana bersorak memanggil Sutan dan Batar sambil melambaikan tangannya pada mereka berdua.
“Sutan...
“Batar...
“Cepat jalannya.. ada yang penting”
Dengan cepat tanggap Sutan dan Batar berlari menuju Rohana dengan langkah seribu, sambil napas mereka menjadi false, karena ketidak sesuaian mereka dalam bernapas antara menghirup dan menghembuskan setelah pacu lari tadi.
“kalian berdua sungguh lelet” kata Rohana dengan tersenyum.
“lelet saja seperti ini hasilnya Roih,, apalagi tidak lelet yang seperti katamu itu” gerutu Batar.
“jangan marah Tar. Aku kan cuman bercanda.. ayo masuk, kita makan dulu, ibu baru selesei masak.” Ajak Rohana.
“oh.. ini yang penting katamu ya roih” sambung Sutan
“iya Tan..”
“iya Tan.. ini memang penting.. soalnya aku juga belum makan..” sambung Batar dengan tersenyum.
“ah kamu memang manusia yang selalu lapar, tadi baru selesei makan sekarang kamu bilang belum makan”
“Bukan begitu Tan, tapi masakan ibu Rohana kan masakan favoritku” sambil mencibir Sutan
“ya sudah, ayo kalian masuk, ibu sudah menunggu kalian dari tadi.” Ajak Rohana
Mereka masuk ke rumah Rohana yang telah di tunggu ibu Ida di meja makan serta hidangan makan siang untuk mereka bertiga.
“siang bu..” sapa Sutan
“siang Tan, ayo duduk, ini sudah ibu siapkan makanan untuk kalian, soalnya Rohana bilang pada ibu kalau kalian mau kesini hari ini”
Mereka bertiga duduk di meja makan sambil bercerita-cerita dengan ibu Ida orang tua perempuan Rohana.
“oiya bu,, bapak Zul kemana bu?” tanya Sutan
“ooh.. bapak tadi pergi mengurus urusan di kantor sebentar Tan, oiya Sutan.. Batar... silahkan makan, jangan malu-malu”
Batar langsung dengan sigap mengambil nasi serta lauk tanpa rasa malu-malu, sedangkan Sutan hanya menggeleng melihat tingkah temannya yang satu ini, sedangkan Rohana menuangkan air minum ke gelas masing-masing mereka.
“ngomong-ngomong kalian bertiga setelah makan benar mau pergi ke tepian sungai belakang rumah pak Buruak?” tanya ibu Ida
“iya bu.” Jawab Sutan dengan semangat.
“tapi nanti kalian hati-hati ya, soalnya cerita dari para penduduk belakangan ini cukup mengkhawatirkan perasaan ibu nak”
“memang cerita apa itu ibu?” tanya Batar pura-pura tidak tahu.
“oh.. kalian belum pada tahu ya?”
“bagaimana kami tahu bu, ibu ataupun orang lain saja belum ada cerita pada kami.”jawab Sutan sambil mengunyah nasi yang ada dalam mulutnya.
“jadi begini, pak Ipul yang punya ladang di seberang sungai di belakang rumah pak Buruak sering melihat sesosok bayangan kepala yang melayang-layang di belakang rumah pak Buruak ketika senja hari setelah magrib dan tengah malam ketika para penduduk telah terlelap”
“haa..” Sutan dan Batar pura-pura melonjak kaget.
“kenapa kalian?” tanya Rohana dengan berpura-pura karena tidak ingin misi mereka nantinya diketahui oleh ibunya.
“tidak ada roih” jawab Sutan
“ibu percaya sama cerita itu bu?” tanya Batar.
“percaya tidak percaya Tar” jawab ibu.
Setelah selesei makan mereka duduk di pelataran rumah Rohana, sambil menceritakan tentang cerita itu, sedangkan ibu Ida di dapur mencuci piring makan yang mereka pakai tadi.
“Tar, aku teringat dengan cerita bapakmu kemaren tar” kata Sutan
“iya Tan, aku juga.”
“kalian ini bicara apa sih, masih cerita kemaren atau cerita yang disampaikan ibu tadi?” tanya Rohana
“itu roih, cerita yang disampaikan ibu tadi sepertinya sudah menjadi trend di kalangan penduduk nagari ini” kata Sutan
“memangnya benar ya kata bapak si Batar sama ibu tadi tuh ?” tanya Rohana
“bisa jadu Roih, soalnya belakangan ini ada suara-suara aneh terdengar di belakang rumah pak Buruak ketika senja hari, setelah suara itu menghilang secara berbarenagan disambut dengan teriakan panjang dari Istri pak Buruak, yaitu Ibu Ros. Begitu terus menerus di dengar oleh warga yang lewat rumah Pak Buruak belakangan ini “. Ucap Sutan.
“bisa jadi ya tapi kita belakangan ini tidak mendengarkannya, betul tidak ? ataukah itu mungkin memang suara ibu Ros yang sedang menahan sakit karena hentakan dari bayi yang sedang dikandungnya” jawab Batar
“bisa jadi betul kata Batar tuh Tan” sahut Rohana
“ya sudah.. kalau memang betul cerita orang-orang mengenai hal tersebut, mari kita buktikan kebenarannya sekali lagi, dan sekarang tidak usah sampai ke sungai seperti kemaren, tetapi kita lebih mendekat ke belakang rumah Pak Buruak, gimana?” ucap Sutan
“boleh juga usulanmu Tan” jawab Batar
“tapi aku takut” sela Rohana.
“jangan takut roih, ada aku di sampingmu” jawab Sutan sambil megang tangan rohana
“iya.iya.. makasih ya Sutan” jawab Rohana
“GOMBAL” kata Batar.
Siang itu setelah makan dan istirahat sejenak dengan melanjutkan cerita di meja makan tadi, mereka bertiga : Sutan, Rohana, dan Batar tidak pergi Ke sungai seperti biasanya tetapi lebih mendekat ke belakang rumah pak Buruak untuk membuktikan cerita orang mengenai hal yang aneh tersebut atas usulan Sutan. Dalam perjalan ke Belakang rumah pak Buruak mereka bertiga masih asik bercerita dengan topik yang sama di meja makan dan pelataran rumah Rohana. Sutan berjalan di depan diikuti Rohana dan Batar melalui jalan bersemak setinggi lutut, mereka berjalan dan terus berjalan tetapi Sutan dan Rohana merasa kalau mereka telah berjalan jauh tapi jalan yang dilaluinya itu ke itu saja, padahal rumah pak Buruak bila biasanya ditempuh dengan jalan kaki hanya memakan waktu 15 menit dari rumah Rohana, namun mereka sudah berjalan kurang lebih setengah jam namun mereka belum juga melihat rumah pak Buruak. Keanehan yang pertama yang mereka alami ini membuat bulu kuduk Rohana berdiri dan tangannya menggenggam erat tangan Sutan yang berjalan di depannya. Tidak satupun dari mereka yang berbicara dalam perjalanan setelah menemui keanehan ini, hanya patahan ranting kayu yang mereka injak terdengar serta suasana yang begitu dingin yang mereka rasakan dalam selama perjalanan ditambah hari hampir senja.
“Tan, kenapa jalan yang kita lalui sekarang terasa lama ya?” tanya Rohana
“tidak tahu roih, aku juga merasa begitu” jawab Sutan
“ah, kalian ini ada-ada saja, aku merasa biasa saja, itu kita hampir sapai tuh” gerutu Batar dari belakang
“Entah kenapa hal yang kami rasakan tidak dirasakan oleh Batar, mungkin karena Batar tidak percaya dengan cerita-cerita mistis yang disampaikan orang-orang, makanya Batar tidak merasakan keanehan dalam perjalanannya.”Ucap Sutan dalam hati.
Dari kejauhan tampak sudah rumah kayu milik Pak Buruak dengan bentuk atap bergonjong dilapisi seng yang sudah berkarat lalu dilindungi oleh pohon-pohon besar sekitar rumahnya yang membuat suasana menjadi sedikit menakutkan, karena rumah itu terlihat seperti tidak terurus karena banyaknya daun-daun yang gugur menyeraki pelataran rumah pak Buruak tersebut.
Singkat kata singkat cerita. Entah darimana datangnya Pak Buruak, sertatanpa diketahui mereka bertiga ternyata pak Buruak telah berdiri di samping Sutan sambil ikut memperhatikan apa yang sedang mereka bertiga perhatiakan, saat Sutan menoleh kesamping kanannya, maka Sutanpun terjerambab melihat kumis pak Buruak yang bergoyang karena tiupan napas dari hidungnya.
“sedang ngapain kalian bertiga disini, sambil memperhatikan rumahku? Apakah kalian mau mampir ya ke rumahku?” tanya pak Buruak kepada mereka bertiga
“kalau bapak mengizinkan kami untuk mampir, kami akan sangat senang dan berterima kasih pak” kata Batar dengan semangat.
Mendengar ucapan yang disampaikan Batar barusan membuat Sutan dan Rohana terkejut dan menambah rasa takut yang menyerang mereka berdua dari tadi sejak perjalanan kesini.Serta tanggapan dari pak Buruak yang mempersilahkan mereka untuk mampir ke rumahnya membuat mereka berdua semakin keranjingan dalam ketakutannya.
“boleh,, ayo mari” ajak Pak Buruak.
Tidak ingin mengecewakan pak Buruak, mereka bertiga berjalan mengikuti pak Buruak dari belakang, sambil Rohana berbisik pada Sutan mengenai situasi rumah Pak Buruak seperti rumah yang telah ditinggalkan penghuninya selama bertahun-tahun.
Singkat kata singkat cerita, Batar memulai pembicaraan dengan pak Buruak dengan pertanyaan apakah cerita yang disampaikan oleh orang-orang kampung benar adanya. pak Buruak menjawab dengan raut muka sedikit sedih.
“cerita apa yang ananda maksudkan?” tanya Pak Buruak
“cerita mengenai adanya bayangan kepala yang melayang tanpa anggota tubuh di senja hari ataupun pada malam hari lalu adanya badan yang berjalan tanpa kepala di sekitar rumah bapak serta adanya suara-suara aneh dan di akhiri dengan teriakan dari ibu Ros”
“ananda Batar, itu kan cuman cerita orang-orang kampung betul tidaknya bapak belum pernah mengalami atau menjumpai apa yang telah disampaikan orang-orang tersebut, namun dulu para nenek moyang kita percaya pada mitos manusia gaib yang disebut dengan Palasik
Palasik....” mereka bertiga serempak mengatakannya.
“iya, Palasik namanya, menurut kepercayaan nenek moyang kita Palasikbukanlah hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi. Palasiksangat ditakuti oleh ibu-ibu yang memiliki balita karena makanan Palasikadalah anak bayi/balita, baik yang masih dalam kandungan ataupun yang sudah mati (dikubur), tergantung jenis Palasik tersebut.” Kata pak Buruak
“lalu kenapa orang-orang membuat cerita seperti itu pak, yang diceritakannya kan pada sekitar rumah bapak sendiri?” tanya Rohana dengan terbata-bata
“Ilmu Palasik menurut kepercayaan nenek moyang kita sifatnya turun temurun. Apabila orang tuanya adalah seorang Palasik maka anaknya pun akan dengan sendirinya menjadi Palasik” jawab Pak Buruak
“jadi Bapak dianggap oleh orang-orang sebagai keturun Palasik, begitukah Pak?” tanya Batar dengan semangat
“kemungkinan begitulah ananda Batar, tapi bapak tidak tahu apakah benar dulunya orang tua bapak seperti yang dikatakan oleh orang-orang kampung” jawab pak Buruak
“terus seberapa besar bapak tahu mengenai Palasik, pak?” tanya Sutan
“yang bapak tahu, pada umumnya cerita-cerita yang telah bapak dengar, Palasik bekerja dengan melepaskan kepalanya. Ada juga badannya yang bekerja mencari makan dan ada pula yang kepalanya melayang-layang mencari makan, Palasik yang lepas kepalanya ini disebut juga dengan Palasik Kuduang” jawab pak Buruak
“tadi bapak kalau tidak salah mengatakn bahwa tergantung jenis Palasik tersebut apa makanan yang dicarinya, memangnya ada berapa jenis Palasik itu pak?” tanya Batar
“jenis Palasik ada bermacam-macam anada Batar, menurut kepercayaan nenek moyang kita ataupun cerita yang berkembang pada orang-orang kampung ada beberapa jenis Palasik, yang pertama Palasik yang memakan bayi dalam kandungansehingga bayi tersebut lahir tanpa ubun-ubun atau mati dalam kandungan, yang kedua Palasik yang memakan bayi yang masih rapuh sehingga bayi tersebut sering sakit-sakitan akhirnya mati, dan yang terakhir Palasik yang memakan mayat bayi yang sudah dikubur” jawab pak Buruak
Tidak terasa waktu sudah senja dan kumandang adzan magrib sudah mulai terdengar di telinga mereka, Sutan yang sebagai kepala rombongan meminta izin untuk pamit pulang karena takut nantinya dicari oleh orang tua mereka. Dalam perjalan pulang Batar menegaskan kepada Sutan dan Rohana bahwa cerita-cerita tersebut hanya mitos yang dipercaya oleh nenek moyang kita sedangkan bapak Buruak hanya sebagai korban dari cerita orang-orang kampung sehingga tidak seorangpun orang kampung yang memiliki balita ataupun istrinya yang sedang mengandung mau mendekat padanya. Sungguh pemikiran yang harus di ubah dalam masyarakat kita sekarang “jawab Batar”.
Meskipun begitu yang telah dikatakan oleh Batar kepada Sutan dan Rohana, mereka berdua masih merasakan ketakutan lebih besar dari sebelumnya ditambah hari sudah mulai gelap yang membuat kengerian menyelimuti mereka berdua.

Kamis, 20 Juni 2013

S.I.K.L.U.S


S.I.K.L.U.S

Fajar menyingsingkan cahayanya di ufuk timur pertanda pagi akan segera datang, suara ayam yang berkokok dengan gagahnya tidak mampu membuat mata seorang pemuda dekil untuk dapat tertidur karena sedang didera oleh insomnia, entah apa yang sedang ia pikirkan sedangkan suara adzan subuh sudah berkumandang dari tadi namun ia masih duduk di atas kasurnya yang kusut dan matanya menerawang ke arah dinding kamar kost yang sudah lama tidak di cat oleh pemilik kost, tangannya yang memegang sebuah buku tulis yang berisi catatan kecil hutang-hutangnya kepada teman-teman yang harus ia lunasi di awal bulan besok yang tinggal beberapa hari lagi. Kiriman dari orang tua sekitar Rp. 700.000/bulan untuk memenuhi kebutuhanku kuliah harus terpangkas oleh biaya kost-kostan sebesar Rp. 180.000/bulan serta hutang sebesar Rp. 230.000 yang telah menunggu untuk dilunasi dan harus segera aku lunasi agar kepercayaan teman-teman terhadapku tidak hilang serta agar pada pertengahan bulan teman-teman mau lagi untuk meminjamkanku uang ketika uang kiriman telah habis.
Rio seorang mahasiswa yang sedang mencari gelar sarjana di salah satu Perguruan Tinggi di luar daerah merupakan mahasiswa berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah yang bapaknya seorang montir alat elektronik sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, memiliki tiga orang adik yang masih duduk di bangku sekolah, kondisi keluarga yang pas-pasan ini tidak membuat semangatnya pudar untuk kuliah demi mendapatkan masa depan yang lebih baik. aku selalu memegang keyakinan ini, “Bila hidup memberimu dua pilihan yang sama-sama sulit untuk kamu pilih, satu-satunya hal yang harus kamu usahakan adalah membuat pilihan ketiga yang bisa kamu lakukan.  Karena, apapun yang kamu lakukan asal sesuai dengan keinginanmu, itu lebih baik daripada memilih dan menjalani sebuah pilihan yang salah”. Kata-kata inilah yang membuatku masih bertahan berlama-lama di negeri orang hanya untuk mendapatkan tambahan satu kata dinamaku yaitu Sarjana. Rio yang berperawakan oriental dengan mata bulat sedikit cakung, rambut pendek lurus, memiliki kulit sedikit agak putih dengan ukuran badan cukup pendek sekitar 163 cm, sehingga kebanyakan dari teman-temannya memanggilnya dengan sebutan “Si Cebol”. Hal seperti ini tidak meruntuhkan bahkan tidak mematahkan semangatnya untuk bergaul dengan sesama mahasiswa lain, karena ia tidak begitu memperdulikan sebutan yang diberikan oleh teman-temannya itu karena ia beranggapan kalau sebutan itu hanya cara atau jalan bagi teman-temannya untuk lebih dekat dengannya.
Kehidupan di rantau apalagi kota memang keras dirasa oleh Rio yang berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah tsb, belum lagi dengan isu-isu dari Pemerintah negara nya yang akan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mana akan menambah beban hidup pemuda rantau di tempat ia bermukim sekarang, dengan dinaikkannya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) maka akan berbanding lurus terhadap harga-harga di pasaran sehingga mengakibatkan harga bahan sembako juga ikut-ikutan naik, belum lagi dengan ongkos angkutan kota yang juga akan diprediksi akan naik akibat dari kenaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) , hal ini dirasa sangat membebani bagi Rio yang sebagai mahasiswa yang sedang menggapai cita-citanya sebagai seorang sarjana.
Ketika sang mentari telah menampakkan sinarnya untuk menerangi alam raya ini, aku yang dari malam tadi belum sepicing pun menutupkan mataku untuk tidur akibat insomnia yang melanda ditambah dengan pikiran terhadap catatan hutang-hutang yang harus di bayar, akupun harus bersiap-siap pergi ke kampus untuk mengikuti perkuliahan di hari ini, dengan kondisi badan yang tidak tidur dari malam tadi membuatku tidak berkonsentrasi di dalam mengikuti perkuliahan hari ini yang mengakibatkan diriku ditegur oleh dosen yang sampai aku diusir keluar kelas dan disuruh untuk menemui dosen tersebut ke ruangannya ketika jam istirahat siang nanti. Setelah ia keluar kelas, aku melangkahkan kakiku ke arah perpustakaan yang berada di dekat kantor jurusan, sambil menunggu tengah hari untuk menemui dosen tadi aku lebih memilih perpustakaan untuk menenangkan pikiran sambil membaca koran dengan tujuan nantinya aku akan menemui lowongan pekerjaan, namun setelah dibalik-baliknya koran tersebut tidak satupun koran yang aku baca menawarkan kerja bagi mahasiswa yang membutuhkan pekerjaan sambil kuliah, karena kebanyakan lowongan yang tertera di dalam koran tersebut membutuhkan pendidikan terakhir S1.
Matahari sudah berada di atas puncak kepalaku yang menandakan waktu tengah hari sudah masuk, yang sesuai permintaan dosen yang mengusirku dari kelas tadi pagi ketika tengah hari di waktu jam istirahat aku harus menemui dosen tersebut di dalam ruangannya yang berada di dalam kantor jurusan.
Dosen yang mengusir dari kelas pagi itu dan menyuruhku untuk menemuinya di kantor jurusan tersebut bernama Prof. Dr. Ahmad Arief, M.A, lulusan luar negeri dengan menyadang predikat Coumlaude berparas melayu dengan mata agak sipit, tinggi badan semampai, berambut ikal yang telah banyak memutih akibat faktor usia dengan memiliki tanda colak di belakang kepala yang menandakan ia adalah seorang yang pemikir keras, berkumis tipis dan memiliki tanda hitam di jidadnya melihatkan ia adalah seorang yang taat beribadah serta potongan jenggot tipis dan panjang yang menghiasi dagu lancipnya tersebut.
aku mengetuk pintu ruangan pak Arief tersebut, terdengar suara dari dalam yang menyuruh masuk, dengan kaki yang terasa berat untuk dilangkah ke dalam ruangan serta peluh yang memancar dari pori-pori membuat badanku terasa mandi dengan keringat walaupun ruangan tersebut memiliki pendingin ruangan.
“Silahkan saudara duduk..” Prof. Arief berkata
Aku yang dari tadi diselimuti oleh kebingungan karena tidak tahu kesalahan apa yang telah aku lakukan sehingga aku harus menghadap Profesor. “Seingat aku tadi pagi di dalam kelas, aku hanya melamun dan tidak memperhatikan profesor dalam kuliah, apakah hanya dengan gara-gara melamun aku harus menemuinya siang ini??” Sahut Rio di dalam hati yang mulai memberontak.
“Maaf Prof, kenapa saya disuruh menghadap prof siang ini?” Rio berkata dengan terbata-bata.
Saya tidak mengiginkan mahasiswa saya apabila di dalam perkuliahan banyak melamun dan memikirkan hal-hal di luar pelajaran saya, saya memperhatikan saudara dari semenjak saudara terlambat masuk kelas sampai akhir puncaknya ketika saudara saya usir keluar kelas.
Aku terdiam terpaku diatas tempat duduk empuk yang ada di ruangan Profesor, namun hatiku kembali memberontak ketika tidak menerima perlakuan profesor yang hanya gara-gara melamun aku harus menemuinya, “ah ini tidak adil..” batinku memberontak..
“Saya mengetahui kalau saudara sekarang memiliki masalah yang cukup besar, namun saya tidak mengetahui masalah apakah itu yang sedang saudara hadapi, ceritakan tentang masalah yang sedang saudara hadapi tersebut?”
Aku terdiam kembali mendengar apa yang diucapkan oleh profesor. Akupun tidak tahu harus dari mana memulainya? Dari keluargaku? Dari catatan hutang-hutangku? Bagaimana mungkin masalahku ini apabila kucerita padanya, ia akan memberi solusi yang baik untukku, ini kan tidak ada kaitannya dengan masalah perkuliahan, gerutu ku di dalam hati.
“Aku tidak tahu kondisi yang sedang dijalani sekarang akan menjadi sebuah siklus yang akan terus berputar dan tiada akhir karena akhir dari siklus itu hanya ada di dalam renungan ku saja, siklus hidup yang dimulai dari awal bulan menerima uang kiriman orang tua dari kampung untuk biaya hidup satu bulan, habis tidak tahu entah kemana? Lalu pada pertengahan sampai akhir bulan sibuk untuk mencari tempat berhutang agar bisa hidup sampai kiriman selanjutnya datang dari kampung, setalah mendapatkan kiriman terpangkas oleh sebuah pelunasan hutang yang harus dilunasi sehingga membuat siklus ini bertahan sampai dengan sekarang, tidak tahu bagaimana solusi yang dapat menghentikan perputaran dari siklus ini, solusi untuk menghentikan siklus ini hanya impian di dalam setiap renungan di malam hari tanpa adanya penerapan di siang hari kedepannya, akankah hidup hanya sebatas siklus yang terus berulang-ulang seperti ini prof?” sahutku memecah lamunan sang profesor yang serius dalam mendengarkan masalah yang sedang aku hadapi.
Profeser Arief hanya menggelengkan kepalanya mendengar cerita aku dan seraya menanyakan tentang keluargaku, “lalu bagaimana dengan latar belakang keluarga saudara?” sahut profesor Arief. Aku menceritakan bagaimana latar belakang serta kondisi keluargaku di mulai dari orang tua, adik-adikku yang masih kecil, pekerjaan, pendidikan, hingga kelancaran kiriman dari orang tua yang dikirimkan oleh orang tua ku dari kampung.
Setelah mendengarkan bagaimana masalah yang sedang aku hadapi, profesor Arief malah menyuruhku keluar ruangannya seraya mempersilahkan aku untuk pulang ke kost. Terbesit di dalam benakku, “apa yang diinginkan profeser ini dari saya? Apakah hanya ingin mengetahui masalah yang sedang di hadapi oleh mahasiswanya? Ini sebuah situasi yang tidak masuk akal untukku, karena profesor menyuruhku untuk datang ke kantornya hanya sekedar untuk mendengarkana masalah yang sedang di hadapi oleh mahasiswanya setelah itu mempersilahkannya untuk keluar”.
Situasi dan kondisi yang barusan aku lewati ini membuat beban pikiranku bertambah lagi, sampai aku tidak nafsu untuk makan di hari ini, “cobaan apa lagi yang akan di ujikan kepadaku Tuhan?”. Lalu aku lebih memilih untuk berdiam diri di dalam kamar sendirian.
Singkat kata singkat cerita, sore hari ketika aku sedang membaca buku di dalam kamar kostku, nada dering sms dari handphone ku memecah keheningan kamar yang bernuansa gelap tanpa adanya seberkas cahaya matahari yang masuk kecuali terangnya lampu neon yang terpasang di dalam kamar tersebut.
“saudara besok pagi datang kembali ke ruangan saya pukul 8.
Ttd : Profesor Ahmad Arief”
Pesan singkat yang dikirim oleh profesor Arief menimbulkan pertanyaan kembali didalam kepalaku yang sudah panas oleh berbagai masalah yang datang. Sebatang rokok kretek ku hisap untuk menenangkan pikiran yang baru saja membuat badan ini kembali bergoncang, “apa lagi ini? Apakah sebuah pertanyaan baru akan di munculkan untukku? Ataukah hanya untuk menanyakan hal-hal yang dirasa tidak perlu lagi?” setelah habis menghisap rokok kretek tersebut akupun memutuskan untuk tidur karena merasa letih dengan apa yang sedang dihadapi ini, beruntung insomnia yang semalam tidak menghampiriku malam ini sehingga pagi hari akupun terjaga karena perutku menggerutu karena tidak diisi malam tadi oleh sesuap nasi.
Pagi itu akupun pergi ke kampus dengan kepala masih tertunduk ke bawah karena beban yang terasa berat dirasa berada di atas pundakku, dengan langkah gontai akupun tiba di kampus dan langsung menuju ruangannya profesor Arief, ternyata beliau telah berada di dalam ruangannya tersebut.
Tok..tok..tok..
Akupun mengetok pintu ruangan itu seraya berkata “Prof, maaf sedikit terlambat!”
“Oh saudara Rio, silahkan masuk dan duduk.”
Akupun dipersilahkan masuk dan duduk, akupun berjalan menuju kursi yang berada tepat dihadapan profesor Arief.
“maaf prof, apakah prof menyuruh saya kembali untuk datang kesini?”
“iya, maksud dan tujuan saya menyuruh saudara datang kembali ke sini adalah untuk memberikan dua pilihan kepada saudara terkait masalah yang sedang saudara hadapi saat ini.”
“jika saudara harus memilih, pilihan mana yang akan saudara pilih?”
Pilihan pertama : “saudara melanjutkan study hingga selesei tapi dengan siklus kehidupan teraebut masih berulang-ulang seperti saudarakan ceritakan pada saya kemarin?”
Pilihan kedua : “saudara berhenti study sekarang ini juga tapi masalah siklus kehidupan tersebut tidak akan terulang kembali?”
Aku terdiam ketika mendengarkan pilihan yang diberikan oleh profesor Arief tersebut, “pilihan macam apa ini, adakah pilihan lain yang harus aku pilih?” gerutu Rio di dalam hatinya.
Mulutnya mulai bergerak, matanya menerawang tajam dengan kerut kening yang jelas terpampang di keningnya, aku pun mulai berbicara kepada profesor Arief “Profesor Arief, ada sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada profesor, di sini saya akan berusaha untuk membuat jawaban dari pilihan yang telah profesor sediakan untuk saya, namun ketika saya harus dihadapkan oleh dua pilihan yang sama-sama sulit untuk saya pilih, maka saya akan berusaha untuk membuat atau mendapatkan pilihan yang ketiga, jadi disini saya akan mempertanyakan kepada profesor seberapa kecil kemungkinan untuk munculnya pilihan ketiga di situasi ini bagi saya?
“kemungkinan itu selalu ada jika saudara mau untuk berusaha dalam mendapatkannya” profesor berkata pada Rio.
Aku tidak dapat menangkap makna dari apa yang disampaikan oleh profesor Arief tersebut, namun aku dapat memahami kalau pernyataan professor Arief tersebut sedikit akan memberikan asa kepadaku yaitu munculnya pilihan ketiga untuk ku. Akupun tersenyum penuh makna kepada profesor Arief, sambil berkata “kemungkinan seperti apakah itu prof? apakah benar adanya pilihan ketiga untuk saya?”
“Saudara Rio Astra atau sering dipanggil si Cebol oleh mahasiswa lainnya, situasi ini tidak kebetulan terjadinya tapi situasi ini telah saya rancang terlebih dahulu, seperti halnya yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dan inilah cara saya saudara Rio Astra!.”
“maaf prof, saya tidak paham dengan apa yang prof sampaikan ini?”
“inilah cara saya, cara untuk menyaring beberapa orang calon penerima beasiswa untuk para mahasiswa yang kurang mampu tapi memiliki keinginan untuk kuliah serta ditunjukkan dengan prestasi yang bagus. Sebelumnya kondisi saudara ini yang harus menemui saya ke ruangan berkali-kali ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu terhadap mahasiswa sebelum anda, penerimaan beasiswa ini hanya di khususkan bagi para mahasiswa baru kurang mampu dengan terlebih dahulu melihat data-data mahasiswa tersebut sebelum dilanjutkan pada situasi seperti ini. Bagi mahasiswa yang lulus dalam test wawancara ini akan diberitahu langsung bahwa ini hanyalah sebuah test untuk mendapatkan beasiswa namun tidak bagi mahasiswa yang gagal test, jadi selamat saudara Rio Astra, saudara tiap bulan selama 3 tahun ke depan akan di beri bantuan beasiswa study sebesar Rp. 1.000.000 dari atas nama Yayasan Ahmad Arief yang bertujuan untuk mewujudkan salah satu dari tujuan negara kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, jadi dengan diberikan bantuan ini semoga minat belajar serta prestasi akademik saudara dapat ditingkatkan tanpa harus memikirkan kurangnya dana kiriman dari kampung”.
Entah apa yang saya rasakan saat ini karena semuanya bercampur aduk jadi satu dari mulai rasa bingung, sedih, senang, bahagia. Aku tidak dapat berkata-kata banyak kepada profesor, hanya tiga kata saja yang mampu keluar dari dalam mulut saya “terima kasih Prof” “terima kasih Prof” “terima kasih Prof” kata-kata tersebut saya ucapkan sambil bersalam dan mencium tangan profesor Ahmad Arief tersebut secara berulang-ulang.
 Hidup ini seperti sebuah siklus, apabila tidak cerdas dalam menyikapinya kita akan terbenam dalam situasi seperti itu untuk waktu yang cukup lama, namun apabila kita cerdas menyikapi situasi itu, maka hidup ini akan lebih bermakna tanpa harus menemui hal-hal yang itu ke itu saja. Semuanya akan indah bagi mereka yang mau berusaha dan pantang menyerah.