S.I.K.L.U.S
Fajar menyingsingkan cahayanya di
ufuk timur pertanda pagi akan segera datang, suara ayam yang berkokok dengan
gagahnya tidak mampu membuat mata seorang pemuda dekil untuk dapat tertidur karena
sedang didera oleh insomnia, entah apa yang sedang ia pikirkan sedangkan suara
adzan subuh sudah berkumandang dari tadi namun ia masih duduk di atas kasurnya
yang kusut dan matanya menerawang ke arah dinding kamar kost yang sudah lama
tidak di cat oleh pemilik kost, tangannya yang memegang sebuah buku tulis yang
berisi catatan kecil hutang-hutangnya kepada teman-teman yang harus ia lunasi
di awal bulan besok yang tinggal beberapa hari lagi. Kiriman dari orang tua
sekitar Rp. 700.000/bulan untuk memenuhi kebutuhanku kuliah harus terpangkas
oleh biaya kost-kostan sebesar Rp. 180.000/bulan serta hutang sebesar Rp.
230.000 yang telah menunggu untuk dilunasi dan harus segera aku lunasi agar
kepercayaan teman-teman terhadapku tidak hilang serta agar pada pertengahan
bulan teman-teman mau lagi untuk meminjamkanku uang ketika uang kiriman telah
habis.
Rio seorang mahasiswa yang sedang
mencari gelar sarjana di salah satu Perguruan Tinggi di luar daerah merupakan
mahasiswa berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah yang bapaknya seorang
montir alat elektronik sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga,
memiliki tiga orang adik yang masih duduk di bangku sekolah, kondisi keluarga
yang pas-pasan ini tidak membuat semangatnya pudar untuk kuliah demi mendapatkan
masa depan yang lebih baik. aku selalu memegang keyakinan ini, “Bila hidup
memberimu dua pilihan yang sama-sama sulit untuk kamu pilih, satu-satunya hal
yang harus kamu usahakan adalah membuat pilihan ketiga yang bisa kamu
lakukan. Karena, apapun yang kamu
lakukan asal sesuai dengan keinginanmu, itu lebih baik daripada memilih dan
menjalani sebuah pilihan yang salah”. Kata-kata inilah yang membuatku masih
bertahan berlama-lama di negeri orang hanya untuk mendapatkan tambahan satu
kata dinamaku yaitu Sarjana. Rio yang berperawakan oriental dengan mata bulat
sedikit cakung, rambut pendek lurus, memiliki kulit sedikit agak putih dengan
ukuran badan cukup pendek sekitar 163 cm, sehingga kebanyakan dari
teman-temannya memanggilnya dengan sebutan “Si Cebol”. Hal seperti ini tidak
meruntuhkan bahkan tidak mematahkan semangatnya untuk bergaul dengan sesama
mahasiswa lain, karena ia tidak begitu memperdulikan sebutan yang diberikan
oleh teman-temannya itu karena ia beranggapan kalau sebutan itu hanya cara atau
jalan bagi teman-temannya untuk lebih dekat dengannya.
Kehidupan di rantau apalagi kota
memang keras dirasa oleh Rio yang berasal dari keluarga ekonomi menengah
kebawah tsb, belum lagi dengan isu-isu dari Pemerintah negara nya yang akan
menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mana akan menambah beban hidup
pemuda rantau di tempat ia bermukim sekarang, dengan dinaikkannya harga BBM
(Bahan Bakar Minyak) maka akan berbanding lurus terhadap harga-harga di pasaran
sehingga mengakibatkan harga bahan sembako juga ikut-ikutan naik, belum lagi
dengan ongkos angkutan kota yang juga akan diprediksi akan naik akibat dari
kenaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) , hal ini dirasa sangat membebani bagi
Rio yang sebagai mahasiswa yang sedang menggapai cita-citanya sebagai seorang
sarjana.
Ketika sang mentari telah
menampakkan sinarnya untuk menerangi alam raya ini, aku yang dari malam tadi
belum sepicing pun menutupkan mataku
untuk tidur akibat insomnia yang melanda ditambah dengan pikiran terhadap
catatan hutang-hutang yang harus di bayar, akupun harus bersiap-siap pergi ke
kampus untuk mengikuti perkuliahan di hari ini, dengan kondisi badan yang tidak
tidur dari malam tadi membuatku tidak berkonsentrasi di dalam mengikuti perkuliahan
hari ini yang mengakibatkan diriku ditegur oleh dosen yang sampai aku diusir
keluar kelas dan disuruh untuk menemui dosen tersebut ke ruangannya ketika jam
istirahat siang nanti. Setelah ia keluar kelas, aku melangkahkan kakiku ke arah
perpustakaan yang berada di dekat kantor jurusan, sambil menunggu tengah hari
untuk menemui dosen tadi aku lebih memilih perpustakaan untuk menenangkan
pikiran sambil membaca koran dengan tujuan nantinya aku akan menemui lowongan
pekerjaan, namun setelah dibalik-baliknya koran tersebut tidak satupun koran yang
aku baca menawarkan kerja bagi mahasiswa yang membutuhkan pekerjaan sambil
kuliah, karena kebanyakan lowongan yang tertera di dalam koran tersebut
membutuhkan pendidikan terakhir S1.
Matahari sudah berada di atas
puncak kepalaku yang menandakan waktu tengah hari sudah masuk, yang sesuai permintaan
dosen yang mengusirku dari kelas tadi pagi ketika tengah hari di waktu jam
istirahat aku harus menemui dosen tersebut di dalam ruangannya yang berada di
dalam kantor jurusan.
Dosen yang mengusir dari kelas pagi
itu dan menyuruhku untuk menemuinya di kantor jurusan tersebut bernama Prof.
Dr. Ahmad Arief, M.A, lulusan luar negeri dengan menyadang predikat Coumlaude
berparas melayu dengan mata agak sipit, tinggi badan semampai, berambut ikal
yang telah banyak memutih akibat faktor usia dengan memiliki tanda colak di
belakang kepala yang menandakan ia adalah seorang yang pemikir keras, berkumis
tipis dan memiliki tanda hitam di jidadnya melihatkan ia adalah seorang yang
taat beribadah serta potongan jenggot tipis dan panjang yang menghiasi dagu
lancipnya tersebut.
aku mengetuk pintu ruangan pak
Arief tersebut, terdengar suara dari dalam yang menyuruh masuk, dengan kaki
yang terasa berat untuk dilangkah ke dalam ruangan serta peluh yang memancar
dari pori-pori membuat badanku terasa mandi dengan keringat walaupun ruangan
tersebut memiliki pendingin ruangan.
“Silahkan saudara duduk..” Prof.
Arief berkata
Aku yang dari tadi diselimuti
oleh kebingungan karena tidak tahu kesalahan apa yang telah aku lakukan
sehingga aku harus menghadap Profesor. “Seingat aku tadi pagi di dalam kelas,
aku hanya melamun dan tidak memperhatikan profesor dalam kuliah, apakah hanya
dengan gara-gara melamun aku harus menemuinya siang ini??” Sahut Rio di dalam
hati yang mulai memberontak.
“Maaf Prof, kenapa saya disuruh
menghadap prof siang ini?” Rio berkata dengan terbata-bata.
Saya tidak mengiginkan mahasiswa
saya apabila di dalam perkuliahan banyak melamun dan memikirkan hal-hal di luar
pelajaran saya, saya memperhatikan saudara dari semenjak saudara terlambat
masuk kelas sampai akhir puncaknya ketika saudara saya usir keluar kelas.
Aku terdiam terpaku diatas tempat
duduk empuk yang ada di ruangan Profesor, namun hatiku kembali memberontak
ketika tidak menerima perlakuan profesor yang hanya gara-gara melamun aku harus
menemuinya, “ah ini tidak adil..” batinku memberontak..
“Saya mengetahui kalau saudara
sekarang memiliki masalah yang cukup besar, namun saya tidak mengetahui masalah
apakah itu yang sedang saudara hadapi, ceritakan tentang masalah yang sedang
saudara hadapi tersebut?”
Aku terdiam kembali mendengar apa
yang diucapkan oleh profesor. Akupun tidak tahu harus dari mana memulainya?
Dari keluargaku? Dari catatan hutang-hutangku? Bagaimana mungkin masalahku ini
apabila kucerita padanya, ia akan memberi solusi yang baik untukku, ini kan
tidak ada kaitannya dengan masalah perkuliahan, gerutu ku di dalam hati.
“Aku tidak tahu kondisi yang
sedang dijalani sekarang akan menjadi sebuah siklus yang akan terus berputar
dan tiada akhir karena akhir dari siklus itu hanya ada di dalam renungan ku
saja, siklus hidup yang dimulai dari awal bulan menerima uang kiriman orang tua
dari kampung untuk biaya hidup satu bulan, habis tidak tahu entah kemana? Lalu
pada pertengahan sampai akhir bulan sibuk untuk mencari tempat berhutang agar
bisa hidup sampai kiriman selanjutnya datang dari kampung, setalah mendapatkan
kiriman terpangkas oleh sebuah pelunasan hutang yang harus dilunasi sehingga
membuat siklus ini bertahan sampai dengan sekarang, tidak tahu bagaimana solusi
yang dapat menghentikan perputaran dari siklus ini, solusi untuk menghentikan
siklus ini hanya impian di dalam setiap renungan di malam hari tanpa adanya
penerapan di siang hari kedepannya, akankah hidup hanya sebatas siklus yang
terus berulang-ulang seperti ini prof?” sahutku memecah lamunan sang profesor
yang serius dalam mendengarkan masalah yang sedang aku hadapi.
Profeser Arief hanya
menggelengkan kepalanya mendengar cerita aku dan seraya menanyakan tentang
keluargaku, “lalu bagaimana dengan latar belakang keluarga saudara?” sahut
profesor Arief. Aku menceritakan bagaimana latar belakang serta kondisi
keluargaku di mulai dari orang tua, adik-adikku yang masih kecil, pekerjaan,
pendidikan, hingga kelancaran kiriman dari orang tua yang dikirimkan oleh orang
tua ku dari kampung.
Setelah mendengarkan bagaimana
masalah yang sedang aku hadapi, profesor Arief malah menyuruhku keluar ruangannya
seraya mempersilahkan aku untuk pulang ke kost. Terbesit di dalam benakku, “apa
yang diinginkan profeser ini dari saya? Apakah hanya ingin mengetahui masalah
yang sedang di hadapi oleh mahasiswanya? Ini sebuah situasi yang tidak masuk
akal untukku, karena profesor menyuruhku untuk datang ke kantornya hanya
sekedar untuk mendengarkana masalah yang sedang di hadapi oleh mahasiswanya
setelah itu mempersilahkannya untuk keluar”.
Situasi dan kondisi yang barusan
aku lewati ini membuat beban pikiranku bertambah lagi, sampai aku tidak nafsu
untuk makan di hari ini, “cobaan apa lagi yang akan di ujikan kepadaku Tuhan?”.
Lalu aku lebih memilih untuk berdiam diri di dalam kamar sendirian.
Singkat kata singkat cerita, sore
hari ketika aku sedang membaca buku di dalam kamar kostku, nada dering sms dari
handphone ku memecah keheningan kamar yang bernuansa gelap tanpa adanya seberkas
cahaya matahari yang masuk kecuali terangnya lampu neon yang terpasang di dalam
kamar tersebut.
“saudara besok pagi datang
kembali ke ruangan saya pukul 8.
Ttd : Profesor Ahmad Arief”
Pesan singkat yang dikirim oleh
profesor Arief menimbulkan pertanyaan kembali didalam kepalaku yang sudah panas
oleh berbagai masalah yang datang. Sebatang rokok kretek ku hisap untuk
menenangkan pikiran yang baru saja membuat badan ini kembali bergoncang, “apa
lagi ini? Apakah sebuah pertanyaan baru akan di munculkan untukku? Ataukah
hanya untuk menanyakan hal-hal yang dirasa tidak perlu lagi?” setelah habis
menghisap rokok kretek tersebut akupun memutuskan untuk tidur karena merasa
letih dengan apa yang sedang dihadapi ini, beruntung insomnia yang semalam
tidak menghampiriku malam ini sehingga pagi hari akupun terjaga karena perutku
menggerutu karena tidak diisi malam tadi oleh sesuap nasi.
Pagi itu akupun pergi ke kampus
dengan kepala masih tertunduk ke bawah karena beban yang terasa berat dirasa
berada di atas pundakku, dengan langkah gontai akupun tiba di kampus dan
langsung menuju ruangannya profesor Arief, ternyata beliau telah berada di
dalam ruangannya tersebut.
Tok..tok..tok..
Akupun mengetok pintu ruangan itu
seraya berkata “Prof, maaf sedikit terlambat!”
“Oh saudara Rio, silahkan masuk
dan duduk.”
Akupun dipersilahkan masuk dan
duduk, akupun berjalan menuju kursi yang berada tepat dihadapan profesor Arief.
“maaf prof, apakah prof menyuruh
saya kembali untuk datang kesini?”
“iya, maksud dan tujuan saya
menyuruh saudara datang kembali ke sini adalah untuk memberikan dua pilihan
kepada saudara terkait masalah yang sedang saudara hadapi saat ini.”
“jika saudara harus memilih,
pilihan mana yang akan saudara pilih?”
Pilihan pertama : “saudara
melanjutkan study hingga selesei tapi dengan siklus kehidupan teraebut masih
berulang-ulang seperti saudarakan ceritakan pada saya kemarin?”
Pilihan kedua : “saudara berhenti
study sekarang ini juga tapi masalah siklus kehidupan tersebut tidak akan
terulang kembali?”
Aku terdiam ketika mendengarkan
pilihan yang diberikan oleh profesor Arief tersebut, “pilihan macam apa ini,
adakah pilihan lain yang harus aku pilih?” gerutu Rio di dalam hatinya.
Mulutnya mulai bergerak, matanya
menerawang tajam dengan kerut kening yang jelas terpampang di keningnya, aku
pun mulai berbicara kepada profesor Arief “Profesor Arief, ada sebuah
pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada profesor, di sini saya akan berusaha
untuk membuat jawaban dari pilihan yang telah profesor sediakan untuk saya,
namun ketika saya harus dihadapkan oleh dua pilihan yang sama-sama sulit untuk
saya pilih, maka saya akan berusaha untuk membuat atau mendapatkan pilihan yang
ketiga, jadi disini saya akan mempertanyakan kepada profesor seberapa kecil
kemungkinan untuk munculnya pilihan ketiga di situasi ini bagi saya?
“kemungkinan itu selalu ada jika
saudara mau untuk berusaha dalam mendapatkannya” profesor berkata pada Rio.
Aku tidak dapat menangkap makna
dari apa yang disampaikan oleh profesor Arief tersebut, namun aku dapat memahami
kalau pernyataan professor Arief tersebut sedikit akan memberikan asa kepadaku
yaitu munculnya pilihan ketiga untuk ku. Akupun tersenyum penuh makna kepada
profesor Arief, sambil berkata “kemungkinan seperti apakah itu prof? apakah
benar adanya pilihan ketiga untuk saya?”
“Saudara Rio Astra atau sering
dipanggil si Cebol oleh mahasiswa lainnya, situasi ini tidak kebetulan
terjadinya tapi situasi ini telah saya rancang terlebih dahulu, seperti halnya
yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dan inilah cara saya saudara Rio
Astra!.”
“maaf prof, saya tidak paham
dengan apa yang prof sampaikan ini?”
“inilah cara saya, cara untuk
menyaring beberapa orang calon penerima beasiswa untuk para mahasiswa yang
kurang mampu tapi memiliki keinginan untuk kuliah serta ditunjukkan dengan
prestasi yang bagus. Sebelumnya kondisi saudara ini yang harus menemui saya ke
ruangan berkali-kali ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu terhadap
mahasiswa sebelum anda, penerimaan beasiswa ini hanya di khususkan bagi para
mahasiswa baru kurang mampu dengan terlebih dahulu melihat data-data mahasiswa
tersebut sebelum dilanjutkan pada situasi seperti ini. Bagi mahasiswa yang
lulus dalam test wawancara ini akan diberitahu langsung bahwa ini hanyalah
sebuah test untuk mendapatkan beasiswa namun tidak bagi mahasiswa yang gagal
test, jadi selamat saudara Rio Astra, saudara tiap bulan selama 3 tahun ke
depan akan di beri bantuan beasiswa study sebesar Rp. 1.000.000 dari atas nama
Yayasan Ahmad Arief yang bertujuan untuk mewujudkan salah satu dari tujuan
negara kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, jadi dengan diberikan bantuan
ini semoga minat belajar serta prestasi akademik saudara dapat ditingkatkan
tanpa harus memikirkan kurangnya dana kiriman dari kampung”.
Entah apa yang saya rasakan saat
ini karena semuanya bercampur aduk jadi satu dari mulai rasa bingung, sedih,
senang, bahagia. Aku tidak dapat berkata-kata banyak kepada profesor, hanya
tiga kata saja yang mampu keluar dari dalam mulut saya “terima kasih Prof”
“terima kasih Prof” “terima kasih Prof” kata-kata tersebut saya ucapkan sambil
bersalam dan mencium tangan profesor Ahmad Arief tersebut secara berulang-ulang.
Hidup ini seperti sebuah siklus, apabila tidak
cerdas dalam menyikapinya kita akan terbenam dalam situasi seperti itu untuk
waktu yang cukup lama, namun apabila kita cerdas menyikapi situasi itu, maka
hidup ini akan lebih bermakna tanpa harus menemui hal-hal yang itu ke itu saja.
Semuanya akan indah bagi mereka yang mau berusaha dan pantang menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar